Naluri Hidup Berketuhanan adalah perasaan pasrah kepada Tuhan sebagai
satu-satunya tujuan terakhir dari segala urusan, baik masalah
keduniawian maupun ukhrawi. Allah SWT mencintai hambanya yang senantiasa
tunduk, patuh dan taat pada perintahNYA, serta Allah juga sangat senang
kepada hamba yang bersedia mengakui kelemahan sebagai kehambaan dan
takluk pada kuasaNYA. Sungguh sebenarnya setiap manusia percaya bahwa
kuasa Tuhan adalah maha atas segala-galanya.
Namun kebanyakan dari manusia mungkin dengan tanpa sengaja kemudian
menjadi lupa akan kodrat tersebut. Apalagi ketika urusan kehidupan mampu
dilaksanakan, sehingga merasa memiliki kekuasaan, dan menganggap
dirinya telah menaklukkan kejayaan dunia. Kemudian dengan bangga berkata
bahwa “Semua ini adalah hasil jerih payahku selama ini, dan itu semua
saya dapatkan berkat usaha dan kemampuan serta ilmu yang saya miliki”.
Sungguh hal ini sangat bertentangan dengan Naluri Hidup Berketuhanan
tersebut di atas.
Tetapi manusia-manusia yang seperti ini pun pastilah kemudian akan
kembali sadar setelah Allah menunjukkan kuasanya. Tatkala musibah dan
cobaan datang menghampiri, baik berupa gangguan kesehatan, masalah
pekerjaan, kerugian dalam usaha, tumpukan hutang yang melilit, atau
kehilangan harta benda, termasuk istri dan anak-anak mereka. Barulah
mereka merendah dan merujuk kepada Allah, mengadukan penderitaan,
memohon ampunan, dan meminta pertolongan. Jika hal ini pernah terjadi
pada kita maka berbahagialah, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan
kesengsaraan itu sebagai sarana untuk menunjukkan hidayah kepada kita.
Namun jika ternyata Naluri Hidup Berketuhanan itu hanya ada pada saat
kita ditimpa kesengsaraan saja, lalu kemudian lupa lagi setelah hidup
kembali senang. Atau jika kita hanya bersedia mengakui kekuasaan Allah
itu tatkala kita dalam keadaan menderita saja, Sungguh perbuatan yang
demikian sama dengan menipu Allah, Na`udzubillah.
Sesungguhnya saya sangat khawatir andaikan Allah SWT menunjukkan
kecintaanNYA kepada kita itu dengan cara yang lain, yaitu Allah
senantiasa akan memberikan kesengsaraan dan penderitaan selama hidup
dalam dunia. Tentu saja hal ini adalah sebagai perwujudan dari sebuah
konsekuensi yang artinya agar kita tetap selalu mendekatkan diri
kepadaNYA, karena Allah lebih tahu bahwa kita hanya ingat kepadaNYA pada
saat susah saja, dan jika diberikan kenikmatan maka akan melupakan
Allah. Na`uzubillah,
Allah telah berjanji dengan kalimat yang berbunyi, “Barang siapa
bersyukur atas nikmatKU, maka AKU akan melipat-gandakan kenikmatan itu,
dan jika Engkau mengingkarinya maka tunggulah, sungguh azabKU sangat
pedih”.
Untuk menyiasati ayat tersebut diatas. Lebih baik kita senantiasa
bersyukur saja atas segala kenikmatan yang telah diberikan, agar Allah
melipat-gandakan kenikmatan itu buat kita. Dengan demikian, semoga Allah
menunjukkan kecintaanNYA kepada kita itu dengan cara yang nikmat, yaitu
Allah selalu memberikan kebahagian itu kepada kita, karena Allah cinta
kepada hambanya yang mau bersyukur. Tentu saja hal ini diharpkan agar
kita tidak pernah melupakanNYA, karena Allah tahu bahwa setiap kita
diberi kenikmatan, maka kita selalu ingat dan bersyukur kepadaNYA.
Amiin, Amiiin, Amiiin, Ya Rabbal `Alamiiin.
Tapi awas,
Barang siapa yang berbuat demikian hanya untuk semata-mata mendapatkan
kebahagiaan hidup dalam dunia saja, maka sungguh dia telah menipu
dirinya sendiri. Tunggulah, “Sesungguhnya Azab Allah itu sangat pedih”.
Na`udzubillah.
Wassalam.
Tabri
Disadur dari obrolan Mario Teguh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar